Penulis : Irawan Apri Khalifah (Mahasiswa FH Universitas Ahmad Dahlan)
Aktivitas pertambangan timah, di darat mau pun laut di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dengan jenis beragam pola penambangan masih marak. Melihat data yang beredar, sektor ini masih menjadi hal yang sangat seksi.
Pemerintah mulai dari pusat, provinsi hingga kabupaten harus memberikan perhatian khusus terhadap praktik pada kegiatan pertambangan ini, khususnya yang beroperasi secara ilegal.
Pasalnya, praktik penambangan ilegal ini tidak lain disebabkan karena banyaknya faktor di belakangnya. Di antaranya berkaitan dengan kehidupan sosial, ekonomi, dan lingkungan.
Hal ini tentu dapat memberikan nilai negatif bagi Negeri Serumpun Sebalai. Karena terkadang operasi tambang ilegal ini banyak memicu konflik horizontal dan kesenjangan masyarakat. Terkhusus masyarakat yang berprofesi sebagai nelayan pada umumnya.
Dengan adanya aktivitas penambangan tambang ilegal di pelbagai wilayah tersebut telah mengganggu dan hasil tangkapan ikan nelayan juga mengalami penurunan. Dampak lain juga bisa menghambat pembangunan daerah karena tidak sesuai Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW).
Menimbulkan kondisi rawan dan gangguan keamanan dalam masyarakat, kerusakan fasilitas umum, berpotensi menyebabkan penyakit masyarakat, dan gangguan kesehatan akibat paparan bahan kimia.
Selain itu, aktivitas pertambangan ilegal ini juga berdampak bagi perekonomian negara karena berpotensi menurunkan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan penerimaan pajak. Kesenjangan ekonomi masyarakat juga berpotensi memicu kelangkaan BBM dan berpotensi terjadinya kenaikan harga barang kebutuhan masyarakat.
Dari sisi lingkungan, aktivitas tambang ilegal akan menimbulkan kerusakan lingkungan hidup, merusak hutan apabila berada di dalam kawasan hutan, dapat menimbulkan bencana lingkungan. Mengganggu produktivitas lahan pertanian dan perkebunan, serta dapat menimbulkan kekeruhan air dan pencemaran air.
Terlebih lagi aktivitas tambang ilegal ini dapat sangat merusak lingkungan seperi rusaknya ekosistem mangrove hingga kerusakan tempat wisata seperti pantai dan lain sebagainya.
Pada umumnya lahan bekas tambang ilegal dengan metode tambang terbuka yang sudah tidak beroperasi meninggalkan void (ruang) dan genangan air sehingga lahan tersebut tidak dapat lagi dimanfaatkan dengan baik.
Seluruh kegiatan tambang ilegal tidak memiliki fasilitas pengolahan air asam tambang, sehingga genangan-genangan air serta air yang mengalir di sekitar tambang ilegal bersifat asam. Ini berpotensi mencemari air sungai.
Pengoperasian tambang ilegal juga umumnya mengabaikan keselamatan dan kesehatan kerja (K3). Banyak terjadi pelanggaran seperti menggunakan peralatan yang tidak standar, tidak menggunakan alat pengamanan diri (APD).
Pada pasal 158 disebutkan bahwa orang yang melakukan penambangan tanpa izin dipidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp 100.000.000.000. Termasuk juga setiap orang yang memiliki Izin Usaha Pertambangan (IUP) pada tahap eksplorasi, tetapi melakukan kegiatan operasi produksi, dipidana dengan pidana penjara diatur dalam pasal 160.
Di pasal 161, juga diatur bahwa setiap orang yang menampung, memanfaatkan, melakukan pengolahan dan/atau pemurnian, pengembangan dan/atau pemanfaatan pengangkutan, penjualan mineral dan/atau batubara yang tidak berasal dari pemegang IUP, IUPK, IPR, SIPB atau izin lainnya akan dipidana dengan pidana penjara.
Atas kasus tersebut penulis mengajak kepada seluruh pembaca untuk mengikuti aturan yang ada di daerah masing-masing sehingga tidak ada lagi aktivitas tambang ilegal yang dapat menyebabkan kerusakan dan/atau konfilik antar masyarakat maupun pemerintah.
Mari kita berkaca pada setiap daerah di Provinsi Bangka Belitung khususnya tidak sedikit kerugian yang ditanggung daerah mulai dari rusaknya lahan-lahan pertanahan hingga yang terparah yaitu kecelakaan pada saat bekerja karena sifatnya yang ilegal dan tidak ada tanggung jawab dan/atau asuransi untuk pihak yang mengalami musibah tersebut.(**)