Example floating
Example floating
Artikel Opini

Legitimasi Citra Politik Prabowo Senior Ditentukan Prabowo Junior

×

Legitimasi Citra Politik Prabowo Senior Ditentukan Prabowo Junior

Sebarkan artikel ini
Example 468x60

Oleh : Muhammad Ma’rifatul Ridha

Dalam politik kontemporer, legitimasi tidak hanya ditentukan oleh performa kebijakan, melainkan oleh bagaimana kebijakan itu dikomunikasikan kepada publik. Max Weber, dalam analisis klasiknya, mengajarkan bahwa otoritas politik membutuhkan legitimasi—yakni penerimaan sosial terhadap kekuasaan yang berkuasa. Namun, legitimasi ini tidak pernah hadir begitu saja; ia dibangun, dirawat, dan dinegosiasikan melalui proses komunikasi yang berkesinambungan. Pemerintah yang gagal mengelola komunikasi publik pada dasarnya sedang mengikis fondasi legitimasi politiknya sendiri.

Example 300x600

Dalam konteks Indonesia hari ini, pemerintahan Prabowo Subianto menghadapi tantangan komunikasi yang serius. Meski tingkat kepuasan publik relatif tinggi pada 100 hari pertama—Litbang Kompas mencatat 80,9 persen dan Indikator Politik Indonesia melaporkan 79,3 persen—angka tersebut tidak serta merta menjadi jaminan legitimasi jangka panjang. Angka tinggi itu lebih tepat dibaca sebagai “bulan madu politik,” sebuah fenomena di mana masyarakat memberi toleransi terhadap rezim baru dengan ekspektasi besar. Sejarah demokrasi modern menunjukkan bahwa bulan madu ini bisa cepat berlalu ketika publik menemukan blunder komunikasi yang berulang, apalagi jika menyangkut isu-isu yang langsung bersentuhan dengan kepentingan hidup mereka.

Prabowo sendiri mengakui bahwa komunikasi publik pemerintahannya “buruk.” Pernyataan ini, yang disampaikan pada April 2025, menjadi pengakuan terbuka bahwa komunikasi bukan sekadar kelemahan teknis, melainkan persoalan strategis yang bisa memengaruhi legitimasi rezim. Blunder-blunder komunikasi—dari wacana PPN hingga gagasan pemilihan kepala daerah lewat DPRD—menunjukkan absennya disiplin framing dalam menyampaikan kebijakan. Robert Entman, dalam konsep framing-nya, menekankan bahwa komunikasi publik bukan hanya menyampaikan informasi, melainkan menyeleksi dan menonjolkan aspek realitas tertentu agar membentuk persepsi kolektif. Ketika seleksi ini dilakukan secara serampangan, publik tidak menangkap solusi, melainkan problem baru.

Kegagalan itu semakin diperburuk oleh ketidakmampuan Kantor Komunikasi Kepresidenan (PCO) yang seharusnya menjadi filter komunikasi presiden. Alih-alih memperkuat otoritas pesan Presiden, PCO justru kerap menjadi sumber polemik baru, baik karena jarak fisik dengan Istana maupun karena pernyataan-pernyataan Kepala PCO yang memicu kritik publik. Tidak mengherankan bila lembaga ini hanya berumur sebelas bulan sebelum akhirnya dibubarkan.

Transformasi PCO menjadi Badan Komunikasi Pemerintah (BKP) adalah upaya korektif, tetapi sekaligus taruhan besar. BKP bukan hanya sekadar penggantian nomenklatur, melainkan pembentukan institusi baru yang diharapkan mampu mengorkestrasi komunikasi pemerintah lintas kementerian, lembaga, hingga pemerintah daerah. Presiden menginginkan BKP tidak hanya menjadi corong Istana, melainkan juga dirigen komunikasi seluruh pemerintahan. Pada titik inilah, wajah politik Prabowo senior kini banyak ditentukan oleh Prabowo junior—Angga Raka Prabowo.

Namun, pertanyaannya: apakah BKP mampu menjawab ekspektasi publik? Habermas dalam konsep ruang publik menegaskan bahwa komunikasi politik yang sah bukan hanya yang transparan, tetapi juga partisipatif. Ruang publik adalah arena diskursif tempat negara dan masyarakat berinteraksi. Jika pemerintah mengabaikan ruang publik—hanya menyampaikan kebijakan sebagai keputusan sepihak tanpa melibatkan publik dalam prosesnya—maka yang muncul adalah resistensi. Sidney Tarrow bahkan mengingatkan bahwa resistensi yang terakumulasi dapat bertransformasi menjadi gerakan sosial. Ketika masyarakat merasa kebijakan disusun tanpa partisipasi, komunikasi publik yang buruk bukan hanya menimbulkan sinisme, melainkan bisa memicu mobilisasi yang mengancam stabilitas nasional.

Angga Raka Prabowo, yang dilantik sebagai Kepala BKP sekaligus menjabat Wakil Menteri Komunikasi dan Digital, kini memikul beban yang tidak ringan. Tugas BKP bukan sekadar mengatur alur informasi, tetapi juga membangun konsistensi narasi, memperkuat transparansi, dan menghadirkan komunikasi yang responsif. Dalam teori agenda-setting, McCombs dan Shaw menegaskan bahwa media dan lembaga komunikasi pemerintah berperan menentukan isu mana yang dianggap penting oleh publik. Jika BKP gagal mengelola agenda-setting, publik akan membentuk agenda sendiri melalui media sosial, yang sifatnya liar, tak terkontrol, dan sering kali kontra- pemerintah.

Tidak berlebihan jika dikatakan, kegagalan Angga adalah kegagalan Prabowo. Ketika komunikasi publik gagal, kebijakan sebesar apa pun tidak akan terbaca sebagai prestasi. Bahkan sebaliknya, kebijakan bisa menjadi sumber delegitimasi. Contoh sederhana dapat dilihat pada kasus kenaikan harga pangan atau wacana perpajakan: tanpa komunikasi yang jelas, publik hanya menangkap dampak negatif, bukan tujuan kebijakan. Pada titik ini, survei tinggi yang saat ini menjadi modal politik bisa dengan cepat runtuh.

Perbandingan internasional memberi pelajaran menarik. Boris Johnson di Inggris, misalnya, kehilangan legitimasi bukan karena kebijakan ekonominya semata, tetapi karena blunder komunikasi saat pandemi Covid-19—terutama skandal “Partygate” yang merusak kredibilitas pemerintahannya. Sebaliknya, Tony Blair bertahan lama bukan karena semua kebijakannya populer, tetapi karena peran strategis tim komunikasi Downing Street yang dikenal sebagai “spin doctors,” yang mampu mengemas narasi kebijakan dengan framing yang konsisten. Dua contoh ini memperlihatkan bahwa komunikasi publik dapat menjadi penentu antara bertahannya atau runtuhnya legitimasi politik.

Dalam konteks Indonesia, keberhasilan BKP akan sangat menentukan bagaimana citra Prabowo dipersepsikan. Jika BKP mampu menginternalisasi prinsip transparansi, konsistensi, dan partisipasi, maka legitimasi politik bisa terjaga. Namun, jika BKP hanya menjadi alat propaganda yang kaku atau sekadar perpanjangan tangan kekuasaan tanpa sensitivitas publik, maka setiap blunder kecil dapat membesar menjadi krisis besar.

Singkatnya, legitimasi politik Prabowo senior kini secara substantif berada di tangan Prabowo junior. Angga Raka tidak hanya bertugas menyampaikan pesan, melainkan menjaga citra, membangun legitimasi, dan mengamankan stabilitas politik. Kegagalannya akan berarti runtuhnya modal sosial yang saat ini menopang Prabowo, sementara keberhasilannya dapat menjadikan komunikasi publik sebagai aset strategis bagi pemerintahan menuju visi Indonesia Emas 2045. Dalam pertarungan legitimasi, komunikasi bukan lagi instrumen pinggiran, melainkan medan utama. Dan di medan itu, Prabowo senior bergantung penuh pada kemampuan Prabowo junior.

Example 120x600

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *