Penulis : Qomardiansyah, S.H. (Ketua Kartika Cendikia Nusantara Bogor Periode 2023-2025)
Undang-Undang Ciptaker sering di sebut Pasal CILAKA (Cipta Lapangan Kerja) sangat menggelitik yang di lakukan orang nomor satu di Indonesia bersama ketua Dewan Perwakilan Rakyat berkonsolidasi atas nama negara, pada saat covid tahun lalu awal pembicaaran itu ketika masih panceklik dengan asiknya memainkan palu dengan mengetuk kebijakan draf RUU Cipta Kerja kepada DPR pada 7 Februari 2020. Sebagai informasi, pemerintah menyusun 11 klaster pembahasan dalam draf RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja. RUU ini baru mulai dibahas DPR pada 2 April 2020 dalam Rapat Paripurna ke-13, hingga pada maret 2023 kemarin menjadi awal tatanan kerusakan terjadi.
Majelis Hakim Konstitusi juga Nampak nya sudah mengalami transaksi politik asik menegaskan bahwa Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) “cacat secara formil”, dan Mahkamah menyatakan bahwa UU Cipta Kerja inkonstitusionalitas bersyarat, Entah apa yang merasuki sehingga sealur dengan DPR dan Oligarki yang sedang memimpin.
UU Ciptaker dikebut semacam tugas mahasiswa yang ingin di kumpulkan kepada dosen dengan system kebut se periode terjadi lah 64 kali rapat, dua kali rapat kerja, 56 kali rapat Panja (Panitia Kerja), dan 6 kali Rapat Timus/Timsin. Akhirnya, RUU Cipta Kerja disahkan dalam Rapat Paripurna pengesahan pada Senin, 5 Oktober.
Berharap Poltikus Handal Menko Airlangga, mengatakan Perppu Cipta Kerja memberikan kepastian hukum dan manfaat yang diterima oleh masyarakat, UMKM, pelaku usaha, dan pekerja atas pelaksanaan UU Cipta Kerja, sehingga manfaat tersebut dapat diteruskan
Alih-alih, “kesejahteraan” dan “kekuasaan” dianggap sebagai hasil dari perjuangan dan negosiasi yang rumit atas otoritas, makna, status, reputasi, dan sumber daya, dan memerlukan pendaftaran jaringan aktor dan konstituen (Long,2001).
UU Ciptaker dan Peraturan Pemerintah Perpu Cipta Kerja menjadi sorotan dengan sorotan yang tajam oleh semua para pengusaha, pengamat politik kemudian terjadi lah penolakan oleh sebagian besar mahasiswa berani membuatkan meme para “politik tikus” bermunculan menandakan bahwa sudah berapa transaksi (uang) terjadi di gedung perwakilan rakyat (katanya), kemudian parah buruh yang hak nya terampas, jaringan gerakan sosial hampir di seluruh ujung Indonesia.
Statement yang menghancurkan akal sehat para politkus hingga tatanan peradaban masyarakat menjadi rusak kata Menko Airlangga “Hal ini menunjukan Pemerintah secara terus menerus melakukan sosialisasi, edukasi, konsultasi, bimbingan teknis, bahkan pendampingan yang diperlukan dalam implementasi Undang-Undang Cipta Kerja,”
Kekayaan dan ketidaksetaraan politik dapat menjadi pendorong utama disintegrasi sosial, seperti halnya oligarki dan sentralisasi kekuasaan di antara para pemimpin. Ini tidak hanya menyebabkan tekanan sosial, tetapi juga menghambat kemampuan masyarakat untuk merespons masalah ekologi, sosial dan ekonomi.
Bidang cliodynamics memodelkan bagaimana faktor-faktor seperti kesetaraan dan demografi berkorelasi dengan kekerasan politik. Analisis statistik masyarakat Indonesia menunjukkan bahwa ini terjadi dalam siklus. Ketika populasi meningkat, pasokan tenaga kerja melampaui permintaan, pekerja menjadi murah dan masyarakat menjadi sangat berat sebelah ditambah dengan kebijakan yang tidak selaras menghegemoni. Terjadilah ketidaksetaraan ini merusak solidaritas kolektif, disusul turbulensi politik.
Meskipun telah terjadi dan mau melawan selalu di cekal dengan cara yang tidak memanusia manusia dan itu sering terjadi kepada kepada aktivis yang menyuarakan suara suara rakyat, kemudian regulasi itu tetap saja bisa diloloskan dan disahkan DPR. Bisa dibayangkan, bagaimana dengan peraturan dan perundang-undangan lainnya yang sepi kritik dan penolakan dari masyarakat.
Prof. Dr. Bambang Sugiharto dalam pernyataannya mengatakan bahwa dalam masyarakat akan selalu ada kelompok-kelompok yang terbelakang, selalu ada kelahiran baru dan anak-anak yang beranjak dewasa. Maka yang dibutuhkan adalah bagaimana pertumbuhan semua tahap dapat dikelola secara sehat, dan bagaimana semua tahap tidak menjadi patologis dan destruktif. Bambang menyatakan bahwa pertumbuhan bukanlah proses yang linear.
Setiap kelompok masyarakat mempunyai aturan untuk naik ke tahap-tahap yang lebih tinggi. Pertumbuhan juga dipengaruhi banyak faktor yang kompleks dan hasil akhirnya tidak sepenuhnya terduga. Meskipun demikian, hal-hal tertentu bisa dikondisikan dengan strategi budaya dan pendidikan, pola pemerintahan tertentu, dan kondisi tekno-ekonomi yang menunjang.
Sejak peraturan itu di ketuk sepakati oleh tuan dan puan menjadi Undang- Undang nampaknya semakin penting untuk ditelaah ulang arah politik dalam pembangunan nasional. Jika melihat girah membangun peradaban dari tata Kelola (pemerintahan) dasar cita-cita bangsa yakni “demokrasi” yang berjiwa sosialisme kerakyataan itu.
Maka tujuan akhir dari kebijakan pembangunan “kesejahteraan masyarakat” harus ditegaskan untuk mecegah kembalinya “penindasan colonial” yang membolehkan penyedotan manusia lemah (mustad’afin) oleh mereka yang bermodal Human Kapitalis (Mustakbirin), serta memastikan “pemegang negara” dengan seluruh olah – olah aturan dan kebijakannya untuk pengabdian demi kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.
Dalam aturan ini UU Cipta Kerja yang baru disahkan selalu penista janji atas tujuan yang selalu di sampaikan. “Sales Investor Luar” menjadi pekerjaan baru dan menggelar tawaran “lapak dagang investasi” dan seolah menutup semua ketimpangan struktural agraris (penguasaan, akses dan pemanfaatan).
Penutup tulisan kutipan Eko Cahyono (Peneliti Sajogyo Institute) UU Cipta Kerja lahan subur investasi, memang jelas masih dominasi nalar kapitalisme ekonomi berwatak dasar mengeruk dan mengkomoditifikasi sumber-sumber agraria nasional, demi memenuhi indeks ukuran agregat makro ekonomi pertumbuhan serta pelipatgandaaan keuntungan. Hal itu, tak hanya akan melanjutkan salah asuh politik kebijakan pembangunan dan agraria nasional, tapi juga akan makin mejauhkan tujuan kesejahteraan, keadilan dan kebahagiaan bagi rakyat Indonesia.