Oleh : Muhammad Alimudin, S.Pd.I
(Pendidik di MTs AIAI Bangka Tengah)
Syariat Wudhu merupakan perintah langsung dari Allah Swt yang termaktub di dalam Al Quran sebagai bagian dari thoharoh atau bersuci sebelum melaksanakan ibadah sholat. Namun jika ditelisik lebih dalam makna hakikat wudhu maka akan terlihat rahasia dan hikmah yang ada di dalamnya. Pada artikel ini penulis akan menyajikan hikmah kandungan syariat wudhu dalam kajian hakikat.
Sebelum menuju tentang ayat kewajiban berwudhu, maka akan kami bukakan terlebih dahulu sebab-sebab diwajibkannya wudhu. Kita pasti mati, dan ketika mati kita diminta pertanggungjawaban oleh Allah Swt, Kita tidak bisa lari dari mati dan kita tidak juga bisa lari dari pertanggungjawaban atas segala perbuatan kita. Pertanyaannya: Apa yang nanti akan bertanggung jawab?
Allah berfirman di dalam Al-Qur’an Surat Al-Isra’:36, ”Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” Dari ayat tersebut jelas bahwa yang bertanggung jawab nanti adalah Pendengaran, Penglihatan dan Fuad. Fuad adalah seluruh indera rasa yang berhubungan dengan saraf rasa, yaitu perasaan hati, perasa penciuman dan rasa pengecap atau peraba.
Dari mendengar, melihat dan merasa ini lahirlah pengetahuan oleh sebab kita berfikir. Ketika mendengar sesuatu maka kita berfikir, setelah melihat sesuatu maka baru kita berfikir. Seandainya kita tidak mempunyai pendengaran, penglihatan, dan hati maka tidak ada sesuatupun yang kita fikirkan. Setelah berfikir itulah lahir pengetahuan. Demikian yang dijelaskan Allah di dalam Surat An-Nahl:78
“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.”
Kalau diperinci, maka yang bertanggung jawab kelak ada 6, yaitu: Pendengaran, Penglihatan, Perasa hati, Penciuman, Pengecap lidah atau Peraba kulit, dan akal fikiran.
Pertanyaannya: Mengapa yang bertanggung jawab adalah pendengaran, bukan telinga? Karena ada orang yang mempunyai telinga tetapi tidak bisa mendengar. Mengapa yang bertanggung jawab adalah penglihatan, bukan mata? Karena ada orang yang mempunyai mata tetapi tidak bisa melihat. Maka Allah Yang Maha Adil meminta pertanggungjawaban dari hasil Pendengaran, Penglihatan, dan seterusnya yang kesemuanya disebut jiwa.
Lebih jelas lagi kalau dikatakan bahwa kelak setelah mati yang bertanggung jawab bukan tangan yang korupsi, akan tetapi jiwa orang itu yang menyuruh tangannya untuk korupsi, mencuri dan sebagainya.
Telinga tidak pernah salah, mata tidak pernah salah, tangan tidak pernah salah, kaki tidak pernah salah, yang salah adalah jiwa dalam diri, yang berdosa adalah jiwa, yang kotor adalah jiwa. Ketika yang kotor adalah jiwa maka yang dibersihkan adalah jiwa, yang disucikan atau dithoharohkan atau diwudhukan adalah jiwa. Demikian yang dijelaskan Allah di dalam Surat Asy-Syams:7-10,
“Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya, sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.”
Penjelasannya adalah sebagai berikut: Ketika berkumur-kumur waktu wudhu, maka yang dibersihkan bukan gigi, akan tetapi bersihkanlah ucapan. Ketika membasuh tangan maka bukan tangan yang dibersihkan, kalau mau membersihkan tangan bisa dengan sabun, wudhu membasuh tangan artinya bersihkanlah perbuatan buruk si tangan, jangan lagi mencuri, jangan lagi korupsi, jangan lagi asal tanda tangan, dan sebagainya.
Setelah tahu bahwa yang bertanggung jawab adalah jiwa di dada yang menjadi motor penggerak seluruh perbuatan kita, bagaimana dengan jasad kita, kaki, tangan dan yang lainnya? Jasad kita nanti tidak bertanggung jawab, akan tetapi hanya menjadi saksi atas perbuatan jiwa kita.
Yang menjadi saksi ketika mati kelak ada empat, yaitu: kaki, tangan, lidah dan kulit.
“Pada hari ini Kami tutup mulut mereka; dan berkatalah kepada Kami tangan mereka dan memberi kesaksianlah kaki mereka terhadap apa yang dahulu mereka usahakan.” (QS. Yaasin:65)
“Pada hari (ketika), lidah, tangan dan kaki mereka menjadi saksi atas mereka terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan.” (QS. An-Nur:24)
“Dan mereka berkata kepada kulit mereka: “Mengapa kamu menjadi saksi terhadap kami?” Kulit mereka menjawab: “Allah yang menjadikan segala sesuatu pandai berkata telah menjadikan kami pandai (pula) berkata, dan Dia-lah yang menciptakan kamu pada kali yang pertama dan hanya kepada-Nyalah kamu dikembalikan.” (QS. Fushilat:21)
Jelas sudah bahwa kita pasti mati, ketika mati kita pasti bertanggung jawab, dan yang diminta pertanggungjawaban ada 6 yaitu: pendengaran, penglihatan, perasa hati, perasa penciuman, perasa pengecap atau peraba, dan akal fikiran. Sedangkan jasad kita menjadi saksi yang diwakili oleh kaki, tangan, lidah dan kulit.
Pertanggungjawaban setelah mati ini pasti terjadi, akan tetapi manusia suka melupakannya. Karena sifat pelupa inilah Allah membuat ritual wudhu sebagai pengingat hari pertanggungjawaban nanti.
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan salat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.” (Al-Maidah:6)
Yang wajib dibasuh ketika wudhu ada 4 bagian, yaitu:
1. Muka, yang mewakili panca indera pendengaran, penglihatan, perasa lidah, dan penciuman.
2. Tangan, yang mewakili perbuatan tangan dan peraba.
3. Sebagian Kepala, yang mewakili akal fikiran.
4. Kaki, yang mewakili setiap langkah dan niat perbuatan manusia.
Karena itulah di dalam wudhu ada bagian yang sunnah yang diajarkan Nabi Muhammad di dalam Haditsnya, yaitu berkumur, membasuh hidung dan membasuh telinga, sebagai penekanan betapa pentingnya menjaga indera tersebut.
Demikianlah hakekat wudhu yang sebenarnya, maka di akhir ayat wudhu, Allah mengatakan bahwa wudhu adalah untuk membersihkan, menyempurnakan nikmat dan agar manusia bersyukur. Mengapa harus bersyukur? Karena Allah telah membuka tabir pertanggungjawaban nanti setelah mati.
Setelah mengetahui hakekat ini, mari kita perbaiki wudhu kita. Karena masih banyak saudara-saudara kita yang beranggapan bahwa hanya sekedar membasuh bagian-bagian wudhu merasa dirinya telah suci. Banyak yang tiap hari berkumur tetapi tidak bisa menjaga lidahnya, masih menggunjing, masih mencaci-maki orang lain. Orang yang seperti ini walaupun tiap hari berkumur tetap saja tidak dianggap wudhu. Banyak juga yang setiap hari membasuh tangan sehari minimal 15 kali, akan tetapi masih suka curang, mengambil hak orang lain, korupsi, tanda tangan rekayasa, maka orang-orang yang seperti ini walaupun seribu kali membasuh tangannya dalam wudhu tetap di mata Allah tangannya masih kotor, karena jiwanya kotor.
Bagian-bagian wudhu hanya simbol perumpamaan, yang hanya merupakan pengingat. Dan perlu diketahui bahwa isi Al-Quran adalah simbol-simbol perumpamaan, yang dengan perumpamaan itu banyak orang disesatkan Allah.
”Sesungguhnya telah Kami buatkan bagi manusia dalam Al Quran ini setiap macam perumpamaan supaya mereka dapat pelajaran.” (Az-Zumar:27)
“Dengan perumpamaan itu banyak orang yang disesatkan Allah…” (Al-Baqarah:26)
Mari kita perbaiki wudhu kita dengan wujud dari perbuatan kita sehari-hari. Mari bersama-sama wudhu ritual tapi juga diiringi dengan wudhu perbuatan, thoharaoh perbuatan, untuk mensucikan jiwa kita.*