Penulis : Anash Barokah, S.Pd., S.IP (Ketua Persatuan Mahasiswa Bangka Selatan Bandung Periode 2019-2020)
Sudah tak asing pembahasan UU Cipta Kerja (Ciptaker) selalu menimbulkan polemik tatanan negara, sebab sudah tiga tahun belakangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Cipta Kerja menjadi hangat diperbincangkan.
Ketika itu, Palu Sidang telah mencekik secara tersruktur, didasari oleh pasal-pasal yang merugikan para pekerja. Padahal terkadang, mereka para buruh mengais rezeki hanya karena bertahan untuk makan, hidup dan juga anak istri bahkan keluarga di kampung halaman.
Pada rapat paripurna pada bulan Oktober 2020 DPR RI ngotot mengesahkan UU Nomor 11 tahun 2020 tentang Ciptaker. Tentu hasil dari rapat tersebut menuai banyak reaksi negatif, sebab UU ini cenderung mengakomodasi kepentingan perusahaan dari pada masyarakat.
Seperti memudahkan eksploitasi sumber daya alam serta merepresi hak-hak pekerja. Poin-poin kontroversial UU Cipta Kerja seperti pada Pasal 79 ayat 2 B yang mengatur istirahat mingguan pekerja menjadi 1 hari dalam 6 hari kerja.
Artinya 5 hari kerja dihapus dalam Undang-undang ini dan hak cuti berpotensi hilang seperti haid dan melahirkan bagi perempuan karena hak upah pekerja atas cuti hilang.
Kemudian pada Pasal 88 B, pasal ini mengatur standar upah perwaktu/jam dengan dalih berdasarkan satuan waktu dan satuan hasil. Karena itu tak sedikit yang mengganggap skema pengupahan ini akan menjadi dasar bagi perusahaan untuk memperlakukan perhitungan upah per jam dan juga bahkan menghilangkan hak-hak pekerja.
Selanjutnya Pasal 88 C, disebutkan menetapkan upah minumum sebagai jaring pengaman. Dalam hal ini kaitan upah mininum yang dimaksud adalah Upah Minimum Provinsi (UMP). Pada poin ini juga banyak kekhawatiran dan pemerintah dinilai tengah berupaya menghilangkan Upah Minuman Kabupaten/Kota (UMK).
Lalu, Pasal 77 yang mengatur waktu kerja pekerja 8 jam dalam waktu 1 hari dan 40 jam dalam seminggu.
Pasal ini sangat merugikan daripada pasal sebelumnya yaitu pasal 77 Nomor 13 UU Cipta Kerja tahun 2003 yang berbunyi mengenai pelaksanaan ketentuan waktu kerja 7 jam sehari untuk 6 hari kerja atau 8 jam sehari untuk 5 hari kerja.
Pasal terbaru ini dianggap sangat mengeksploitasi pekerja dalam faktor ketahanan tubuh. Begitu pula penghapusan pasal 59 UU Ciptaker yang mengatur pekerja dengan syarat waktu tertentu (Status Kontrak). Dengan dihapusnya pasal ini dalam UU Cipta Kerja, maka tidak ada aturan sampai kapan seseorang pekerja ini bisa dikontrak dan akibatnya bisa saja pekerja kontrak tersebut menjadi pekerja kontrak seumur hidup.
Pasal dalam Perppu Ciptaker juga berpotensi mengancam dan membahayakan lingkungan hidup serta masyarakat adat. Ketentuan yang dimaksud antara lain Pasal 25 yang memangkas partisipasi masyarakat dalam penyusunan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL).
Di samping itu, Pasal 162 yang berpotensi menjadi alat kriminalisasi bagi masyarakat atau aktivis yang menolak tambang, pemberian royalti 0 persen bagi perusahaan yang melakukan pengembangan dan/atau pemanfaatan tambang-tambang melalui Pasal 128 A, hingga penghapusan ketentuan kecukupan 30 persen luas kawasan hutan.
Guncangan dari polemik ini mengundang pelbagai elemen masyarakat sipil untuk tidak tinggal diam. Permohonan Judicial Review (Pengujian Yudisial) pun dilayangkan. Melalui Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020, Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan bahwa UU Ciptaker inkonstitusional bersyarat.
Dan apabila tidak dilakukan perbaikan paling lama 2 (dua) tahun sejak putusan diberikan, UU Ciptaker dinyatakan inkonstitusional permanen.
Alih-alih mengatasi permasalahan tersebut, pemerintah justru mengambil jalan kilat dan mengingkari amanat MK dengan menerbitkan produk hukum yang mereplikasi hampir seluruh substansi UU Ciptaker melalui Perppu Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja.
Perppu Undang-undang ini selanjutnya ditetapkan menjadi Undang-undang oleh DPR pada tanggal 21 Maret 2023. Dengan nihilnya niat pemerintah dan DPR untuk memperbaiki UU Ciptaker memperlihatkan urgensi sebenarnya dari pengesahan Undang-undang ini.
Ya, itu adalah ambisi elite oligarki semata-mata tanpa mengindahkan kesejahteraan masyarakat.
Bahkan mirisnya lagi akibat dampak dari disahkannya Undang-undang ini, potensi yang kaya makin kaya, yang miskin makin meratapi tubuh yang makin kurus kering.
Tak hanya itu banyak drama yang terjadi pada rapat siang itu “Walkoutnya” salah satu Fraksi partai dan intrupsi dari partai berbeda tak diindahkan oleh sang maha benar Puan dan Tuan yang berjasa memimpin sidang.
Hilangnya perlindungan hak-hak kekayaan intelektual, proses legislasi yang tidak transparan bahkan terkesan buru-buru menjadi penopang bawasannya DPR RI bukan lagi Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Tapi melainkan Dewan Perampok Rakyat Non Prestasi.
Oleh karena itu sebagai Warga Negara yang katanya baik, bahkan paham dan taat akan aturan Perundang-undangan dan Pancasila, seharusnya pemerintah harus menjunjung tinggi amanah yang sudah ditetapkan. Bahkan DPR juga harus hadir dalam mengontrol dan menghentikan kegilaan yang dibuat oleh kaum elite pemerintah.
Bukan malah memanjakan kaum oligarki, sebagaimana didasari pada Pasal 22 ayat (2) dan (3) UUD RI 1945. Kewenangan ini diperlukan untuk menjaga keseimbangan kekuasaan antara Presiden dengan DPR dalam membentuk Peraturan Perundang-undangan.
DPR seharusya dapat diandalkan untuk mempertahankan legitimasi putusan MK sehingga kekuasaan yudisial tidak diperkosa begitu saja. Namun, bukannya mendukung rakyat, DPR justru mengkhianati rakyat dan MK.(**)