Penulis : Irawan Apri Khalifah (Mahasiswa FH Universitas Ahmad Dahlan)
DALAM wacana tiga periode yang dilontarkan menuai banyak kontroversi sehingga dapat menimbulkan paham-paham baru. Menilik sejarah jabatan presiden tidak akan lepas dari amandemen konstitusi yaitu Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Salah satu materi dari amandemen UUD 1945 adalah terkait dengan pembatasan masa jabatan presiden.
Kita ketahui bersama bahwa sebelum adanya amandemen, masa jabatan presiden yaitu selama lima tahun dalam satu periode, tetapi dapat dipilih kembali tanpa adanya batasan. Setelah adanya amandemen, Pasal 7 konstitusi memberikan batasan terhadap masa jabatan presiden yaitu selama lima tahun dalam satu periode dan dapat dipilih kembali satu kali saja.
Histori ini telah jelas dan kita sepakati bahwa masa jabatan presiden dari lima tahun dengan beberapa periode (tidak terbatas) menjadi lima tahun dengan dua periode merupakan upaya pembatasan terhadap masa jabatan presiden. UUD Tahun 1945 yang merupakan konstitusi adalah hukum tertinggi dari negara.
Hal ini sesuai dengan jenis dan hierarki peraturan Perundang-undangan berdasarkan Pasal 7 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 15 Tahun 2019.
Artinya UUD Tahun 1945 merupakan kesepakatan atau konsensus yang tinggi. Konsensus yang telah dimufakati secara bulat oleh Bangsa Indonesia. Sebagai konsensus yang telah secara bulat disepakati, pembatasan masa jabatan presiden yang hanya dua kali periode, membawa beberapa konsekuensi.
Salah satu konsekuensi yang terjadi adalah konsensus tersebut harus dikawal dan dijaga agar tetap berlaku sebagai bagian dari menegakkan kebersamaan. Sebaliknya yang tidak bersedia mengawal dan menjaga konsensus tersebut maka sudah tidak sepakat dengan konsensus yang pernah dibuat oleh Bangsa Indonesia.
Fakta empiris bahwa memperpanjang masa jabatan presiden melahirkan kekacauan, krisis hingga kekerasan. Ada beberapa negara yang mengalami nasib seperti itu, seperti Kongo, Burkina Faso, dan Burundi. Temuan yang menarik dari studi tersebut yaitu ide memperpanjang masa jabatan presiden didasari klaim aspirasi publik.
Tetapi, dalam praktiknya justru memunculkan polarisasi ekstrem karena kegagalan mempertahankan marwah demokrasi. Secara normatif, menunda pemilu sebenarnya absah dilakukan jika mempunyai basis legitimasi hukum yang kuat.
UU Pemilu No.7/2017 Pasal 431 dan 432 menyebutkan, pemilu lanjutan diterapkan jika sebagian atau seluruh wilayah Indonesia tidak bisa dilaksanakan dengan adanya kerusuhan, gangguan keamanan, bencana alam, dan gangguan lainnya.
Tetapi, jika tidak didasari alasan demikian, menunda pemilu berarti menabrak regularitas pemilu sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 22E UUD Negara Republik Indonesia.
Memperpanjang masa jabatan presiden rasanya sulit direalisasikan.
Pilpres 2019 telah memberi gambaran betapa panasnya tensi politik yang harus menguras banyak energi Bangsa. Polarisasi di tengah masyarakat begitu ekstrem sehingga mengancam bangunan perdamaian, ketentraman, dan persatuan bangsa ini. Jejak polarisasi akibat sengitnya kontestasi politik pada Pilpres 2019 masih terasa hingga sekarang.
Upaya melakukan konsolidasi dan menghapus jejak pembelahan tersebut tidak gampang. Sebab, polarisasi kian menajam seiring dengan menyeruaknya berita bohong atau hoaks di jagat media sosial. Hal itu disinyalir berandil besar dalam memengaruhi persepsi masyarakat terhadap berbagai hal, terutama kebijakan pemerintah. Untuk itu mari kita bersama-sama bersatu membangun negeri kita yang besar ini dengan menjunjung tinggi nilai demokrasi dan patuh terhadap konstitusi.(**)